Hari pahlawan yang baru saja kita lewati pada tanggal 10 November, selalu meninggalkan euforia mendalam mengenai nasionalisme dan kebangsaan. Terutama, di kota Surabaya yang disebut sebagai kota pahlawan. Parade juang dan aksi tetrikal ke-veteran-an seringkali menghiasi perayaan hari pahlawan yang juga menjadi penanda puncak pertempuran milisi pro-kemerdekaan di Surabaya dengan tentara britania raya ini. Namun, seringkali dalam euforia perayaan perjuangan ini, kita melupakan beberapa hal yang turut mengiringi kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahasa yang digunakan pejuang-pejuang untuk membakar semangat perjuangan, bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia pada Masa Pra-kemerdekaan
Bahasa Indonesia, dalam perkembangannya senantiasa mengiringi masa-masa pra-kemerdekaan bangsa Indonesia. Apabila awal mula kelahiran bahasa Indonesia dihitung dari saat ikrar sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928, sebelumnya “bahasa Indonesia” sudah mulai digunakan di nusantara. Bahasa Indonesia yang saat itu masih dikenal sebagai bahasa Melayu, juga sudah digunakan pada kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia. Misalnya ditemukannya prasasti Talang Tuo, Kedukan Bukit dan Kota Kapur yang didapati menggunakan bahasa Melayu.
Setelahnya, bahasa Melayu yang menjadi asal-usul bahasa Indonesia pun menjadi salah satu bahasa yang diperhitungkan kedudukannya di nusantara. Misalnya, Antonio Pigafetta, seorang penjelajah yang sampai ke Tidore pada tahun 1521 dan menuliskan kata-kata bahasa Melayu (Pramuki). Artinya, bahasa Melayu adalah bahasa yang sudah memiliki cakupan yang luas karena dipercaya “berasal” dari timur, dan sudah menyebar ke barat. Walaupun, saat itu juga terdapat bahasa-bahasa daerah yang berkembang sesuai daerahnya masing-masing. Bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca di kawasan nusantara
Namun, ketika pendudukan Belanda di Indonesia, bahasa “utama” di negeri ini berubah menjadi bahasa Belanda. Mulai dari komunikasi politik maupun pendidikan, bahasa Belanda menjadi bahasa yang digunakan sehingga pada masa ini. Bahasa Melayu yang kelak akan menjadi bahasa Indonesia secara tak langsung tersingkir. Walaupun, ketika pendudukan Jepang di Indonesia, bahasa Belanda secara paksa dihapuskan dari segala aspek-aspek kehidupan di Nusantara. Bahkan ada sumber sejarah yang menyebutkan bahwa Jepang memperbolehkan penggunaan bahasa Indonesia dengan tujuan menghapus sisa-sisa kolonialisme Belanda. Jepang pun membentuk komisi penyempurnaan bahasa Indonesia yang mengatur tentang penghapusan bahasa Belanda dan mengatur penggunaan bahasa Indonesia untuk penggantinya. Walaupun, komisi ini dipercaya tidak pernah aktif melakukan pekerjaannya.
Berawal dari Melayu, Menjadi Bahasa Indonesia
Sebelumnya, kita tilik kembali bagaimana bahasa Melayu dapat menjadi bahasa Indonesia yang kita kenal saat ini. Bahasa Melayu, berasal dari rumpun bahasa Austronesia. Secara spesifik, yang akhirnya berkembang menjadi bahasa Indonesia saat ini adalah bahasa Melayu Tinggi atau Melayu Rumpun Riau. Akhirnya, pada tahun 1896 muncul ejaan van Ophuijsen yang mengatur ejaan bahasa Melayu yang kemudian diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ejaan ini dianggap sebagai tonggak awal perkembangan bahasa Indonesia, sampai adanya sumpah pemuda pada 1928 yang secara tegas menyebut “bahasa Indonesia” bukan bahasa Melayu.
Tahun 1938, diadakan kongres bahasa Indonesia I di Surakarta yang diprakarsai olah Persatuan Djurnalis Indonesia secara khusus membahas poin-poin mulai dari kesepakatan penggunaan kata-kata asing untuk keperluan ilmiah, sampai keputusan untuk menggunaan ejaan baru untuk menggantikan ejaan van Ophuijsen yang dinilai terlalu memiliki perspektif melayu. Padahal, saat itu bahasa Indonesia sudah menjadi keputusan kolektif nasional sebagai bahasa persatuan. Sampai akhirnya baru pada tahun 1947, digunakanlah ejaan republik atau juga dikenal sebagai ejaan Soewandi untuk menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan republik banyak menyumbangkan perubahan terutama menghilangkan aspek yang dianggap terlalu Melayu-sentris dan kurang sesuai dengan semangat yang ada pada Bahasa Indonesia.
Kepentingan Bahasa: di Antara Bertumpah Darah dan Berbangsa
Di antara 9 putusan kongres bahasa Indonesia I, sangat tercermin nasionalisme kebahasaan dari para peserta kongres itu. Selain keputusan tentang gramatika bahasa, harapan-harapan terkait penguatan bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional yang sistematis juga menjadi salah satu bahasan dalam kongres itu. Misalnya, pada pre-advies yang disampaikan Soekardjo Wirjopranoto dan dipertahankan oleh R.P. Soeroso yang akhirnya menjadi putusan kongres yaitu mengharapkan bahasa Indonesia menjadi bahasa sah dan bahasa dalam undang-undang negeri. Ada juga keputusan mengenai pendirian Institut Bahasa Indonesia sampai Perguruan Tinggi Kesusasteraan untuk memajukan kebudayaan bangsa Indonesia.
Dari sumpah pemuda, sampai kongres bahasa Indonesia, sudah cukup jelas bahwa bahasa Indonesia turut mengiringi perjuangan bangsa Indonesia. Bila diperhatikan lebih lanjut dari ketiga poin sumpah pemuda, bahasa Indonesia yang diikrarkan menjadi bahasa persatuan, dianggap “setara” dengan tumpah darah dan pengakuan berbangsa yang satu. Bahasa Indonesia, dalam hal ini bukan hanya mendampingi proses perjuangan bahasa Indonesia. Namun juga secara khusus mengiringi proses-proses perjuangan bangsa. Walaupun, mungkin tidak langsung digunakan sebagai “fisik” dari perjuangan bangsa. Namun dari pena-pena dan tutur kata para pejuang yang menggunakan bahasa Indonesia, proses perjuangan bangsa akhirnya dapat berhasil dan terus bertahan, sampai saat ini.
Ditulis oleh Mochamad Alviensyah, Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya dan Ketua HMD Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga tahun 2018.
Kontak: Mochamad.alviensyah-2016@fib.unair.ac.id

0 komentar:
Posting Komentar