Beberapa waktu lalu, saya melihat video dari Chikology di Twitter (Saat ini, X. Saya lebih nyaman menyebut Twitter). Katanya, jangan takut kalau kita merasa sedang kembali lagi ke titik nol. Karena, nol itu bukan titik terendah.
Setelah saya simak videonya, Ia mengibaratkan nol sebagai titik tengah. Di antara angka positif dan negatif. Durasi videonya tak terlalu panjang. Tapi, saya benar-benar terenyuh dengan isinya–yang membuat saya berkontemplasi dengan waktu yang tak sebentar. Jika diibaratkan dengan karir, kita sering mengira PHK/layoff adalah titik terendah sebuah perjalanan karir. Terutama, jika setelah itu harus menunggu beberapa waktu sampai mendapatkan pekerjaan baru. Harus berusaha kembali melamar-lamar, wawancara dengan calon perusahaan baru.
Memang, kondisi seperti ini banyak diibaratkan dengan titik terendah. Namun, setelah menonton video Chikology tadi, saya semakin yakin bahwa kondisi ini lebih ideal disebut sebagai titik tengah. Sebagai Hamba Allah Tabarakawata’ala, saya yakin betul hal ini sudah tertulis dalam Lauhul Mahfudz, bahkan mungkin sebelum saya lahir ke dunia ini. Kembalinya kita (termasuk saya, saat ini) ke titik ini, sebagai momen untuk kita kembali menetralisasi hal-hal yang sebelumnya “kurang baik” untuk kita.
- Apakah sudah cukup waktu kita untuk anak dan istri?
- Apakah sudah cukup waktu kita untuk keluarga dan orang tua?
- Apakah sudah cukup waktu kita untuk beribadah pada Allah yang Maha Kuasa?
Kita mungkin terasa berjalan cepat mengejar karir dan urusan dunia lainnya, namun perlu diingat, usia kita dan orang-orang tercinta juga terus berjalan. Orang tua kita terus menua, serayanya kita terus-terusan bekerja.
Tentu saja, titik nol bukanlah titik yang nyaman untuk semua orang–bahwa ada biaya hidup dan tanggung jawab yang terus berjalan. Tapi, saya percaya bahwa semakin baik kita merefleksi, insyaAllah, semakin baik jalan kita untuk terus ke titik positif. 😊

0 komentar:
Posting Komentar